Email Terakhir Zahwa

12:29 PM / Posted By Bee Diaz Prihatama /

SEMUA bermula dari surat elektronik yang masuk ke emailku, pertengahan April 2008. Seorang mahasiswi Universitas Sydney, yang tengah menyelesaikan masternya di bidang sastra Indonesia ingin mengenalku lebih dekat. Dalam suratnya ia mengatakan bahwa ia sangat suka novelku, Sintren.

Semula aku menanggapi surat elektronik itu biasa-biasa saja. Ia pasti mahasiswa Indonesia yang sedang belajar disana. Namanya Zahwa Suraia Najib. Ia sangat fasih berbahasa Indonesia.

Seminggu kemudian datang lagi emailnya. Ia mengabarkan akan segera berkunjung ke Indonesia, dan memohon kesediaanku menemaninya menyusuri pantai utara. Ia ingin mengunjungi tanah Batang, setting dalam novel sintren. Aku nyaris tidak percaya pada apa yang kuhadapi. Aku merasa tersanjung.

Tapi perasaan ragu lalu menyelinap: mana mungkin. Bisa jadi orang yang mengaku mahasiswi Universitas Sydney ini tengah menggodaku, menyanjungku atau tengah hendak menertawakan aku.

“Siapa tahu benar. Jangan meremehkan email yang masuk,” ujar suamiku.

“Artinya aku harus menemani dia selama di Batang.”

“Ya, biar aku ambil cuti nemani anak-anak. Edgin kau ajak pulang, titipkan sama Ibu di kampung.” Edgin yang dimaksud adalah anak kami terkecil. Aku mengiyakan pendapatnya.

Benar. Seminggu kemudian, Sabtu siang, Zahwa menghubungiku dan mengajak bertemu di salah satu hotel di kawasan Cikini, Jakarta. Ternyata, ia bukan orang Indonesia. Wajahya khas Timur Tengah. Postur tubuhnya tinggi. Kulitnya kecoklatan. Hidungnya mancung dengan rambut alis mata lebat serta bola mata yang terang.

“Sintren,” begitu ia memanggilku. “Aku mahasiswa asal Palestina. Aku tertarik sastra Indonesia setelah membaca karya-karya Pramudya Ananta Toer, Hamka, dan Hamzah Fansuri. Maka itu aku kemudian ambil kuliah master tentang sastra Indonesia. Aku kagum sastra di negerimu sangat kaya,” katanya.

Aku begitu tersanjung dengan kata-katanya.

“Sintren, pasti ingin bertanya dari mana aku tahu novel Sintren kan?” Ia diam sejenak sambil memandangku. Ia seolah tahu apa yang sedang kupikirkan. “Aku menemukan novelmu di perpustakaan kampus. Lalu aku mencari tahu lebih banyak lagi di internet.”

Aku mengangguk-angguk.

“Nggak heran lagi kan mengapa ada mahasiswa Palestina hendak menulis tesis tentang Sintren?” ucap Zahwa. Kami lalu terlibat obrolan. Tak hanya tentang Sintren dan Batang, juga tentang profesiku sebagai pengarang, tentang kuliahnya, tentang kuliahku yang tidak kuselesaikan, juga tentang negerinya Palestina yang seolah terus didera perang.

Kami sepakat ke Batang esok paginya. Menumpang mobil sewaan, Zahwa tak henti-hentinya bertanya tentang nama-nama kota yang kami lewati. Ketika kami melewati Cirebon, ia juga tahu kota ini memiliki seni Sintren.

“Apakah Sintren Cirebon sama dengan yang ada di Batang, Dayen.” Ups. Lidah asingnya terdengar juga akhirnya. Nama depanku Dian dibaca sebagai Dayen. Unik juga. Aku pun menjelaskan kesamaan Sintren Cirebon dengan yang di daerahku.

Pertunjukkan sintren di Batang diiringi para panjak juga tetabuhan musik pengiring khas sintren. Di Cirebon pun sama. Sintren dipandu oleh seorang pimpinan sintren, biasanya orang laki-laki yang sudah tua. Di Batang pun pawang sintren biasa dipanggil Mbah, sebagai panggilan untuk orang laki-laki yang sudah tua.

“Bedanya?”

“Bedanya di Batang, pertunjukkan sintren tidak pernah diadakan siang hari, selalu malam hari. Di Cirebon bisa siang hari. Untuk busana, di Cirebon memakai celana panjang, di Batang memakai kain jarik atau batik.”

“Dan tak setiap perawan bisa menjadi sintren kan Dayen.”

Aku mengiyakan.

Mobil yang kami tumpangi terus melaju. Perbincangan yang asyik membuat waktu berputar sangat cepat. Tak terasa kami sudah memasuki kota Tegal. Hatiku bersorak. Usai Tegal bus menyapa Pemalang, Pekalongan lalu Batang. Kami sampai di rumah ibu, saat bulan mulai menggantung di langit.

Esok paginya, Ibu menghidangkan megono untuk makan pagi, dan sepiring kecil jajanan gethuk. Zahwa tampak menikmati betul makanan kampung itu. Usai makan pagi, kami segera mengunjungi tempat-tempat lokasi novel sintren. Pertama, yang aku kunjungi adalah tanah lapang di Gang Nanas, sebelah kanan rumahku. Rumahku berada di tepi jalan Yos Sudarso.

Berjalan bersisian dengan Zahwa kian memperjelas postur tubuhku yang pendek. Tatapan tetanggaku menyiratkan kekaguman pada keelokkan Zahwa yang berkali-kali tersenyum kepada para tetanggaku. Tiba di tempat yang dituju, kami berhenti. Aku menunjukkan deretan rumah beton yang dulu tanah lapang untuk pertunjukkan Sintren. Waktu itu, pada 1984, aku masih kelas empat SD dan suka menonton pertunjukan itu.

Oh my good, sudah jadi rumah semua Dayen.”

Aku mengangguk.

Di belakang kami, ada rumah yang tak lagi terawat. Kosong. Aku jelaskan pada Zahwa, di rumah ini dulu tinggal salah seorang awak sintren. Namanya Lek Sutris. Dia penabuh tethe sekaligus pemilik perangkat musik Sintren. Lek Sutris dan istrinya tak dikaruniai anak, jadi tak ada lagi yang menghuni rumah itu setelah mereka meninggal.

Zahwa mengangguk-angguk.

“Oke, sebelum kita ke Klidang dan lapangan Kanoman di Kasepuhan, aku ingin ke Kali Kramat dulu,” pinta Zahwa. Aku terharu. Zahwa begitu hafal nama-nama lokasi dalam novelku. Kali ini aku mengajaknya naik andong. Deras arus Kali Kramat mulai terdengar, Zahwa minta andong berhenti. “Aku ingin jalan kaki,” ujarnya.

Kami turun, lalu berjalan menyusuri bentangan Kali Kramat. Pada sebuah batu besar, kami berhenti. Kami duduk berisisian di samping kiri batu, sebesar dua rentangan tangan orang dewasa. Aku melongok ke Kali, arusnya bikin bulu kudukku merenggang. Di tepi kali, beberapa ekor katak berlompatan kian kemari.

“Aku seperti melihat Saraswati ketika dimandikan di sini Dayen. Di kaki langit itu juga, aku seperti melihat bayang Saraswati yang kau katakan sangat- sangat mempesona.”

“Terima kasih Zahwa.”

Suara arus kali Kramat mencipta simponi bersama suara dedaunan. Angin menyempurnakan simponi itu. Zahwa memandangi langit lepas yang biru. “Kamu beruntung Dayen,” ucapnya kemudian. Terdengar seperti sebuah harapan, rasa syukur juga keluh.

“Kamu tinggal di sebuah negeri yang damai, tenang, tak ada rentetan tembakan, dentuman bom yang datang kapan saja, teriakan anak-anak yang mencari ibunya di bawah hujan peluru, juga histeris ibu-ibu, tatkala anak tercinta meregang nyawa di pangkuannya. Serta jerit pilu kanak-kanak, yang mendapati ayah bundanya tak bernyawa lagi.”

Aku menelan ludah. Kerongkonganku terasa perih dan pedih. Tumpahkanlah Zahwa apa yang menyesakkan di dada, aku sekarang merasa ia bukan sekadar pembaca novelku. Lebih dari itu. Ia saudaraku. Sekali lagi saudaraku. Aku membatin.

Zahwa menghela napasnya. Sangat berat. Matanya yang terang benderang berubah redup. Ia masih memandangi langit lepas.

“Kematian rahasia Tuhan, Zahwa,” kataku. “Dimana pun kita akan mati. Dan pada akhirnya, di negeri manapun sama saja. Masing-masing punya persoalan sendiri. Negeri kami juga punya banyak persoalan. Tsunami di Aceh, gempa bumi, kapal tenggelam, hingga percikan lumpur dari perut bumi yang menenggelamkan sebuah kawasan di Jawa Timur. Itu belum lagi kemiskinan yang makin menjadi-jadi.”

“Ya. Itu yang membuat aku tetap bisa berpikir waras.”

“Waras?”

“Dulu aku pernah ingin meninggalkan tanah Palestina yang penuh horor. Aku benci perang. Karena perang membuat anak-anak Palestina tak bisa berpuisi, Dayen. Aku ingin memboyong ayah ibuku keluar dari Palestina. Aku ingin menikmati kehidupan normal, penuh tawa. Anak-anak bisa bebas berlari, berteriak dan merdeka.”

Zahwa menangkupkan wajahnya pada kedua telapak tangannya. Tak lama kemudian Zahwa membuka kedua tangannya.

“Tapi ayah ibuku menolak. Mereka bertahan di Palestina. Alasan mereka, siapa lagi yang akan berjuang mempertahankan tanah Palestina, kalau bukan orang-orang Palestina. Palestina adalah tanah air yang harus dibela sampai titik darah terakhir, Dayen.”

“Iya,” ucapku tercekat.

“Betapa hinanya aku Dayen, bila keluar dari Palestina hanya karena ingin selamat. Tahun ini aku putuskan untuk menyelesaikan tesisku. Aku harus berhasil meraih masterku. Usai itu aku akan pulang, memperjuangkan Palestina. Aku ingin membuat anak-anak Palestina pintar dan cerdas.”

Hmm.

“Kalau aku pulang nanti aku akan memberikan seluruh hidupku untuk anak-anak Palestina. Aku akan mengumpulkan dana dari bangsa-bangsa yang peduli dengan Palestina. Aku akan membangun sekolah dan mengobarkan semangat untuk merdeka.”

******

SEKITAR tiga bulan Zahwa tinggal di Indonesia, bolak-balik ke berbagai daerah di Jawa, memasuki berbagai perpustakaan, mewancarai sejumlah orang, tokoh, budayawan, dan akademisi berkaitan dengan topik yang sedang ditelitinya. Saatnya ia pulang, aku tiba-tiba merasa kehilangan. Ia pun demikian. Ketika mengantarnya di bandara, kami berangkulan sangat lama.

“Aku pasti datang lagi,” katanya sambil menyeka butiran air matanya. Aku tidak dapat berkata apa-apa, kecuali air mata pula yang menetes.

Setelah itu, ia terus berkomunikasi denganku lewat surat elektronik. Tidak hanya bertanya atau menggali informasi tentang Sintren, ia juga rajin menceritakan suasana Palestina terkini, bercerita tentang ayah-ibunya yang ingin melihat tanah Indonesia, juga menanyakan kabar anak-anak dan suamiku. Aku merasa kami telah menjadi saudara.

Menjelang akhir tahun, ia mengirim surat elektronik yang menyatakan ia telah menyandang gelar master. Ia mengaku segera pulang ke Palestina. Aku begitu gembira mendengar kabar itu dan segera membalasnya untuk mengucapkan selamat. Aku juga menitip salam untuk ayah-ibu serta seluruh keluarganya di Palestina.

Ternyata, itu email terakhir Zahwa. Setelah itu, aku tidak pernah lagi mendengar kabarnya. Aku mencoba mengirim beberapa surat elektronik, tanpa ada balasan. Aku bahkan mencoba menelpon ke nomor telepon genggam yang sempat diberikan dulu, tidak tersambung.

Sementara itu di Palestina, kematian demi kematian datang seperti kereta teramat panjang. Serangan demi serangan dari Israel begitu meluluhlantakkan negeri itu.

“Zahwa… Semoga Tuhan melindungimu.”

0 comment:

Posting Komentar