Ibuku, Cintaku

2:59 PM / Posted By Bee Diaz Prihatama /

|1|

Sungguh, Anakku. Demi kebaikan kita berdua, dan demi rasa sayangku padamu, maka sebaiknya kau pergi. Kau bisa kutitipan pada pamanmu, bibimu, atau famili lainnya, tapi kurasa tidak denganku. Kutegaskan lagi: tidak denganku!

Bukannya aku tidak menyangimu, Anakku. Sungguh, berniat mengusirmu saja sudah menyayat perih hatiku. Bukan pula karena aku tidak sanggup menghidupimu. Gajiku sebagai tukang ketik sudah lebih dari cukup untuk kita berdua, Anakku, Mengertilah, Anakku, karena besarnya rasa sayangku padamu, maka kau memang harus pergi. Demi aku. Demi kamu. Dan demi rasa sayangku padamu.

"Mengertilah Anakku! Mengertilah betapa besar rasa sayangku padamu!"

|2|

Hari itu berita itu datang. Berita tentang kematian mantan suamiku yang seharusnya membuatku terbahak girang. Jelas aku benci dia—meskipun kuakui aku masih sedikit menyimpan rindu padanya! Semena-mena dia membuntingiku. Semena-mena pula dia menceraikanku. Padahal saat menikahinya, usiaku sama sekali belum genap tujuh belas. Lantas dengan entengnya dia menghakimiku sebagai istri pemabuk, istri penjudi, istri yang cuma bisa marah-marah tiap kali dia pulang kerja, dan—yang paling tidak bisa kuterima—istri yang tidak baik buat anak yang kulahirkan dari rahimku sendiri. Apa haknya memisahkanku dengan putraku satu-satunya? Bahkan sebelum dia bisa mengenalku sabagi ibunya! Sungguh, seharusnya aku mensyukuri penyakit jantung yang mencabut nyawanya, sekalipun masih ada sedikit rindu di kurasa. Tapi nyatanya, aku tidak bisa tertawa, tidak pula menangis.

Di hari yang sama pula aku mendapat kabar tentang anakku yang akhirnya kembali padaku. Tidak ada satupun famili dari bapaknya yang mau menampungnya, maka akulah yang ditimpahkan kuasa. Karena itu, tidak berlebihan rasanya bila ada sebagian dari diriku bersyukur atas kematian mantan suamiku itu. Sudah enam belas tahun dia memisahkanku dengan satu-satunya buah hatiku. Tidak sekalipun dia memberiku kesempatan bertemu, atau bahkan sekedar menelepon untuk mendengar suaranya. Lebih lagi, dia justru tega menjauhkannya ke tempat yang tidak akan pernah bisa kujangkau bahkan dalam mimpiku sekalipun. Aku pun tidak tahu sama sekali apakah putraku tahu sosok ibunya. Setidaknya aku cukup lega dengan berita ini yang artinya putraku tahu dia punya ibu. Walaupun begitu, aku takut untuk tertawa, begitu pula menangis.

Aku cuma bisa menunggu di sisi stasiun. Aku duduk di bangku tunggu dengan dandanan seadanya: tank top dan jins lusuh. Mungkin sudah sekitar dua jam aku duduk menunggu. Kuperhatikan satu per satu pemuda yang lalu lalang di depanku sambil sesekali kupampangkan karton putih bertuliskan nama anakku. Sudah batang rokok keempat kuhisap habis, tapi belum muncul juga sosok pemuda yang menangkap tulisan yang kupegang. Kuputuskan untuk menyulut rokok ke lima. Ketika itu ada suara lelaki menghampiriku.

“Ibu?”

Aku tergugu melihat sosok pemuda di sampingku. Ukiran wajahnya serupa persis mantan suamiku ketika muda dulu.

|3|

Sore itu aku duduk-duduk di teras dengan putraku. Sebatang rokok kembali tersulut di tangan kananku. Aku tak bisa berhenti menatap bentuk wajahnya yang benar-benar mampu memutar kembali ingatan masa mudaku. Sementara putraku, jelas sekali dia gugup. Sesekali dia membuka novel tebal di tangannya. Beberapa menit kemudian dia menutupnya lalu mencuri-curi pandangan ke arahku. Tidak lama kemudian dia membuka novelnya lagi. Itu yang dilakukannya berulang-ulang. Mungkin dia masih belum terbiasa di dekatku.

“Sejak kapan Ibu merokok?” Dengan lugunya putraku mengajukan pertanyaan pertamanya padaku. Kulihat dia masih canggung berbicara denganku.

Kulempar senyum kecil. “Ibu dulu pecandu wiski, makanya bapakmu pergi. Ibu merokok biar gak mabuk lagi.”

“Ibu di sini cuma tinggal sendiri?”

“Iya.” aku terdiam sejenak. “Ada pembantu, tapi cuma sampai siang.”

Lalu keheningan kembali menyeruak lagi. Aku terus menatapnya sembari membandingkan dengan sosok muda suamiku dalam ingatan. Sedangkan dia terus saja salah tingkah dan tampaknya belum bisa sanai berada di dekatku.

“Sudah punya pacar?” tanyaku dengan suara lirih.

“Belum.” jawabnya dengan suara yang tidak kalah kecil.

“Ganteng, tinggi, bapaknya berduit pula, kok belum punya?”

“Belum ada yang kena.”

“Ooo.” Aku kembali menatapnya lekat. Diam-diam, kucari sosok suamiku di dalam dirinya.

Hari-hari berikutnya dia terasa semakin terbuka padaku. Memang, kulihat dia masih canggung melihat beberapa kebiasaanku: memaki-maki pembantu, mengepulkan asap rokok sebelum sarapan, memakai pakaian seksi, dan selalu uring-uringan. Tapi biarlah kubiarkan dia membiasakan diri dengan kebiasaanku. Dia sempat melempar pertanyaan lucu seputar usiaku. Menurutnya, rupaku tidak seperti layaknya wanita-wanita tiga puluh tahun lainnya. Aku tertawa kecil mendengarnya. Pujian serupa memang sering kudapatkan, terutama dari lelaki-lelaki hidung belang di tempatku bekerja yang selalu kutolak mentah-mentah ajakan makannya. Bedanya, pujian dari putrakku mampu menimbulkan semacam perasaan hangat di dadaku. Kuakui, kedatangannya seakan mampu memantik kembali rona masa mudaku yang rasanya tak mungkin kudapat lagi. Wajar saja, sudah hampir enam belas tahun hidupku tidak disinggahi lelaki.

Hari itu juga kuantar dia mendaftar di SMU terdekat. Di jalan, kusadari mata-mata penggunjing penguasa kompleks mengintaiku dari segala penjuru. Mata-mata itu memang selalu mencari-cari celah keburukanku untuk dibicarakan berjam-jam bahkan berhari-hari. Kurasa, alasan mereka—entah diakui atau tidak—menggunjingkanku murni karena mereka iri denganku. Aku ingat pernah suatu hari kutegaskan pada mereka:

“Badanku ramping karena aku sarapan dengan rokok dan wiski, bukan dengan nasi!” Ketika mendengar jawaban itu, mereka mematung dan bola mata mereka seakan-akan hendak meloncat keluar.

Begitu pula sekarang ini, bisa kupastikan berita bahwa diriku berjalan berdua dengan seorang pemuda tampan tidak dikenal akan tersebar kilat ke penjurut kompleks. Tapi, sungguh, sekarang aku sudah sangat muak dan aku tidak akan peduli lagi dengan mata-mata mereka yang selalu siap mengintaiku.

Malam harinya, ketika putraku sudah tertidur pula di kamar tamu yang sudah disulap jadi kamar pribadinya, aku menghampirinya sejenak. Aku duduk di sisi ranjang. Kututupi tubuhnya dengan selimut. Kutatapi wajahnya sejenak. Lagi-lagi, muncul perasaan hangat yang membangkitkan kembali gairah masa mudaku. Perasan itu mendesir cepat melewati nadi-nadiku. Kubaringkan tubuhku di sampingnya.

|4|

Sudah seminggu berjalan, aku dan putraku pun sudah semakin memahami tabiatku. Kuizinkan dia memanggilku dengan namaku, karena nadanya ketika memanggilku dengan kata “ibu” selalu terdengar canggung. Aku pun semakin memahami beberapa hal tentangnya. Sebenarnya, dia tidak selugu dan sepolos yang terlihat. Terbukti ketika dua hari yang lalu dia mengagetkanku dengan menanyakan izin merokok. Tentu kuizinkan. Aku tidak melihat salahnya. Justru kami berbagi puntung rokok bersama. Kami mengecup bekas bibir masing-masing yang tercetak di filter rokok. Atau ketika dia kudapati tengah diam-diam menyaksikan vidio porno di telepon genggamnya. Wajahnya memerah ketika tertangkap basah. Aku hanya tersenyum kecil melihat bercak basah di celananya.

Namun, semakin aku mengenal putraku, semakin hebat aliran gairah mendesir kembali di sekujur tubuhku. Ketika dia menatapku, yang kurasa bukanlah tatapan seorang anak, melainkan tatapan seorang pemuda. Begitu pula nada biacaranya padaku. Di saat yang bersamaan, kurasakan juga rasa bersalah mengalir sama cepatnya dengan gairah.

Sore ini, kudapati putraku baru saja keluar dari kamar mandi. Hanya sehelai handuk membalut bagian bawah tubuhnya. Desiran gairah dan rasa bersalah itu pun muncul lagi. Lebih-lebih ketika dia menatapku dengan tatapan lelaki. Tapi aku harus memilih. Kuputuskan untuk memilih.

Aku harus memilih.

“Mengertilah Anakku! Mengertilah betapa besar rasa sayangku padamu!”

Kulihat dia terdiam.

“Kamu harus pergi, Nak.”

Kutundukkan kepalaku. Sudah bertahun-tahun aku tidak bertingkah sesentimentil ini. Dia mendekatiku. Mendekapku. Menegakkan kepalaku dengan kedua tangannya. Dia melayangkan kecupan hangat di pipiku. Di saat itu juga gairah mendesir semakin kuat mengalahkan rasa bersalahku. Dia melayangkan kecupan lagi di pipiku. Lalu merambat ke bibirku. Kuterima kecupannya. Disaksikan sinar lampu kami pun bercumbu.

Di akhir adegan dia membisikkan kata halus di telingaku:

“Aku cinta Ibu.”

|5|

Sejak saat itu, tidak ada batasan lagi yang terasa dari hubunganku dengan putraku. Berciuman sepulang kerja sudah menjadi rutinitas kami. Bahkan, malam harinya, kami melanjutkan kemesraan di tempat tidur layaknya sepasang kekasih. Ya, kami kekasih, sekalipun tidak ada pengikraran yang resmi. Bahkan, tidak jarang pembantu mendapati kami keluar berdua dari kamar hanya berbalut pakaian dalam. Wajahnya selalu tercengang. Tapi aku tahu dia tidak akan berani komentar macam-macam.

Namun, rasa bersalah ternyata tidak bisa mati begitu saja. Rasa bersalah masih tetap kurasakan menyelinap di bilik-bilik jantungku menunggu waktu yang tepat untuk menikamku. Rasa bersalah itu semakin menjadi-jadi ketika aku tanpa sengaja mendengar gunjingan-gunjingan tentang hubunganku dengan putraku. Gunjingan-gunjingan itu selalu dibumbui kata-kata tidak sedap tentang diriku. Dan cara mereka menatapku seakan-akan menunjuk bahwa aku seorang makhluk hina dan menjijikkan.

Rasa bersalah telah telak menyerang sisi vitalku pagi tadi. Salah seorang rekan kerja yang sempat tergila-gila padaku melayangkan sebuah kalimat yang membuatku harus melempar tamparan ke pipinya.

“Anakkmu gigolo ya?”

Aku bergegas pulang. Aku tidak bisa menahan tatapan-tatapan yang memandangku rendah. Kalimat itu meyakinkan betapa aku telah merusak anakku sendiri. Kubayangkan ketidakwarasan yang mungkin terjadi bila hubungan tidak sehat ini terus berlanjut. Kubayangkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa menimpa putraku di masa depan nanti.

Mataku mulai sayup. Botol obat tidur yang sudah kosong menggelinding dari tanganku. Dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki, kubaca kembali surat yang telah kutulis sebelumnya.

“Ini semua kesalahanku, bukan putraku. Aku yang menekannya untuk melakukan semua itu. Aku yang memaksanya.”

Perlahan-lahan cahaya mulai redup dari penglihatanku. Kulakukan semua ini demi menyelamatkanmu, Anakku.

Labels:

0 comment:

Posting Komentar